Hitam, Putih, atau Tidak Keduanya?
Dulu, ketika saya dihadapkan pada sesuatu yang membingungkan, saya selalu mencari kesana kemari, menghabiskan waktu hanya untuk mempelajari apa yang terjadi, menguras pikiran hanya untuk memahami situasi, membebani hati hanya untuk mencari sebuah arti.
Misalnya, selalu mencari alasan mengapa seseorang berkata atau berbuat sesuatu. Saya selalu mencari-cari dan memahami bahkan melakukan cocokologi atas apa yang seseorang katakan atau lakukan. Saya selalu berpikir berlebihan, mengira dan menduga-duga setiap kemungkinan terbaik dan terburuk. Bahkan saya rela menghabiskan tenaga hanya untuk bertanya-tanya pada diri sendiri, pada sahabat, pada orang-orang di sekitar, bahkan pada orangnya langsung.
Pada fase itu rasanya ketenangan sangat sulit untuk ditemukan. Sangat sulit untuk fokus pada hal-hal yang sedang dikerjakan. Pikiran selalu dipenuhi dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Bahkan ketika jawaban sudah ditemukan pun rasanya sulit untuk menemukan ketenangan pikiran. Selalu tidak puas dan mencari pembenaran atas pikiran diri sendiri.
Ketika jawaban yang ditemukan adalah salah, maka pikiran dan perasaan akan menolak dan menyangkal. Merasa terluka dan tidak percaya akan jawaban tersebut, pikiran selalu dipenuhi dengan kalimat "kalau tidak, kenapa dulu begini? / Kalau tidak, kenapa dulu begitu? / Masa iya? / Pasti dia bohong? / kata orang kan ABCD kok kata dia XYZ?" Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terus menerus memenuhi pikiran.
Namun ketika jawaban yang ditemukan pun adalah benar, pada saat itu mungkin kita akan senang. Akan tetapi, secara tidak sadar ekspektasi saya akan meningkat setinggi mungkin dan harapan-harapan yang muncul pun akan semakin tinggi pula. Di dalam pikiran akan dirancang hal-hal yang pasti akan dilakukan dengan jawaban tersebut. Seperti "kalau dia bilang ini, berarti nanti bakal begini / kan harusnya kalau begini harus begitu / pasti dia bohong, katanya begini kok sekarang jadi begitu / kok dia begini ya, padahal dulu kan bilangnya gini gini gini" dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ketidakpuasan saya akan ekspektasi yang saya bangun sendiri. Saya akan merasa sangat kecewa, dan merasa tersakiti oleh orang lain. Padahal hakikatnya yang menyakiti saya adalah ekspektasi dan harapan yang saya bangun sendiri, bukan karena orang lain yang jahat.
Ketika berada di fase tersebut, sungguh hidup akan terus menerus melelahkan dan menyakitkan. Jauh dari kata damai dan tentram. Yang dirasakan hanya rasa sakit, kekecewaan dan kesedihan. Pikiran akan dipenuhi banyak tanda tanya, bahkan ketika tidur pun tidak bisa berhenti memikirkan banyak hal. Hati akan merasa lelah dan mencari sesuatu untuk disalahkan, entah itu Tuhan, keadaan, orang lain, bahkan diri sendiri.
Setelah sekian lama berpikir dan merenung, meresapi apa yang terjadi, memahami diri sendiri, serta belajar dari pengalaman dan rasa sakit, akhirnya saya sampai pada satu pemikiran yang membuat hidup saya lebih damai dan tentram, bahwa terkadang dalam hidup kita tidak perlu mengerti, hanya perlu menjalani apa yang sedang terjadi. Karena banyak hal yang tidak bisa kendalikan, salah satunya adalah sikap dan juga perkataan orang lain. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana cara kita menanggapi apa yang orang lain perbuat dan apa yang orang lain katakan.
Kita tidak harus selalu tau apa yang sedang terjadi, bagaimana yang sebenarnya dan apa yang sejelasnya. Kita tidak harus selalu memilih antara iya atau tidak. Kita tidak harus selalu tahu antara benar dan salah. Kita tidak harus tahu dan tidak harus mencari tahu. Yang harus kita lakukan adalah menjalani setiap takdir-Nya dengan sebaik-baiknya, berbuat baik kepada orang lain meskipun mereka tidak berbuat demikian, serta selalu berprasangka baik kepada siapapun baik itu Tuhan, diri sendiri dan orang lain. Yakini bahwa segala sesuatu telah di atur dengan sangat sempurna oleh Sang Pencipta. Yakini bahwa hidup kita telah dirancang oleh perancang skenario terbaik. Yakini bahwa apapun yang terjadi, itu semua atas kehendak-Nya. Yakini bahwa rencana Allah lebih baik dari apa yang kita rencanakan. Dengan begitu, kita akan mendapatkan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup. Meskipun kebahagiaan dunia itu sementara, setidaknya ketengan pikiran akan bisa kita rasa.
Jadi, berhentilah berpikir berlebihan dan berusaha untuk mengendalikan banyak hal, kata Habib Umar bin Hafidz , "Berhentilah berfikir berlebihan, ingat sepotong besi rusak karena karatnya sendiri. Jangan biarkan dirimu rusak karena pikiranmu sendiri. Tidak usah terlalu cemas, karena cerita hidup telah ditulis oleh penulis sekenario terbaik."
Komentar
Posting Komentar