Wahai diri, sudahkah berdamai?
Tak cukup sampai disitu, takdir menjadikanku anak yang sering sakit. Apa apa dilarang. Makan ini itu jangan. Ketika yang lain minum susu, makan jajanan SD, makan eskrim, yang kumakan hanyalah biskuit dan obat. Hambar sekali. Hatiku ingin sekali mencoba eskrim atau sembunyi-sembunyi membeli jajanan sembarangan, tapi tidak kulakukan. Hatiku menolak, "katanya mau sembuh, katanya mau lihat orang tua bahagia, kok mau melanggar... ditahan dulu ya" Ahhhh aku ini, padahal sesekali mungkin tidak akan apa-apa tapi hatiku berontak, tak pernah membenarkan perbuatan yang salah. Aku menerima semua rasa sakit dari penyakitku, dan aku sabar akan proses untuk menyembuhkannya. Bukankah itu yang namanya berdamai dengan keadaan?
Waktu membawaku ke masa SMP, kata orang masa ketika remaja sedang nakal-nakalnya. Ketika waktu itu, tubuhku sudah mulai kuat, badanku pun mulai berisi, dan aku pun mulai seperti orang normal, membeli eskrim dan yang lainnya. Ah.. Bahagia sekali rasanya. Namun ternyata ujianku terus berlanjut, kali ini ujiannya adalah pertemanan. Seperti yang kubilang tadi, masa SMP adalah masa remaja sedang nakal-nakalnya, begitupun teman-temanku. Ada yang mulai berpacaran, ada yang mulai mengubah penampilan, ada yang mulai menjadi pembangkang terhadap guru, ada yang mulai bakal di kelas. Untuk hal-hal itu kali ini aku tidak ingin seperti manusia seusiaku. Selain hati, akal juga berontak. Itu perbuatan salah. Aku menjadi beda diantara mereka. Alhasil... Tidak punya teman. Sedih, sakit ketika kemana-mana sendiri. Tidak ada teman ngobrol, teman jajan ataupun sekadar teman berangkat dan pulang sekolah. Namun, aku jalani masa SMP ku dengan semangat, meskipun kesepian. Aku mengalihkan rasa kesepian itu dengan mencalonkan diri menjadi wakil ketua OSIS dan terpilih. Lumayan menyibukkan diri daripada terus meratapi kesepian. Aku juga berkali-kali ikut lomba dan olimpiade, alhasil aku tetap berprestasi meskipun sendiri. Setidaknya ada hal berkesan di masa SMP ku. Bukankah itu yang namanya berdamai dengan keadaan?
Tak hanya sampai disitu, ketika kelas sembilan waktunya orang-orang menentukan pilihan mau melanjutkan pendidikan kemana. Sejak kecil, motivasi terbesarku memenangkan lomba dan menjadi juara kelas adalah karena aku ingin masuk SMA negeri favorit. Namun ternyata, ekonomi mulai tidak stabil, sedangkan kakakku harus masuk kuliah, butuh biaya besar. Akhirnya akulah yang mengalah, masuklah aku ke MA, karena disana aku dijamin beasiswa full gratis SPP, sangat-sangat akan meringankan beban orang tua. Akhirnya kukorbankan impian dan pupus lah sudah harapan masuk SMA negeri favorit. Tapi tak apa, asalkan orang tua baik-baik saja, aku pun akan begitu. Bukankah itu yang namanya berdamai dengan keadaan dan diri sendiri?
Kujalani masa-masa di MA dengan penuh drama, dari mulai pertemanan, perebutan rangking, culture shock, pembullyan dan juga pelecehan yang membuat aku sakit fisik dan sakit mental. Pada waktu itu rasanya aku akan mati, setiap berangkat sekolah selalu diwarnai pannick attack, trauma ketika bertemu dengan orang-orang. Aku ingin pindah sekolah, tapi tidak bisa, aku tidak bisa membebankan orang tua, aku harus bertahan. Maha baik Allah, ketika aku kesusahan jika harus datang ke sekolah karena akan kena serangan panik, Allah datangkan wabah virus, yang membuat pandemi dan sekolah diliburkan. Musibah yang menjadi anugrah bagiku. Aku tetap bisa sekolah disana tanpa khawatir tentang apapun karena tidak perlu bertemu siapapun. Meskipun ternyata interaksi di grup WhatsApp tetap saja mengandung unsur bully an. Tak apa, akan kujalani sampai lulus. Bukankah itu yang namanya berdamai dengan takdir?
Pandemi telah berakhir dan sekolah pun kembali masuk, aku sudah memasuki kelas dua belas semester dua, waktunya memilih kampus impian dan menyiapkan SNMPTN. Sepertinya karena sudah biasa berdamai, aku pun jadi pasrah dengan keadaan. Masuk PTN favorit alhamdulillah, tidak pun tak apa, yang penting kuliah. Tapi ternyata orang tua sudah menyiapkan masa depan, katanya yang dekat dan terjangkau saja. Yasudah... Jangankan mengikuti SNMPTN, kampus negeri impian saja tak sempat terbayangkan. Kata orang aku tak punya keinginan dan aku bodoh karena sudah diberi anugerah kepintaran tapi tak punya tujuan masuk PTN impian. Ah biarlah mereka berkata apa... Nyatanya yang tahu susahnya menekan keinginan dan memilih berdamai dengan keadaan adalah aku. Mereka hanya melihat kepasrahan, tapi tidak melihat isi kepala yang berantakan.
Lalu waktu membawaku ke lingkungan perkuliahan. Aku bahagia, orang-orang nya baik, lingkungan sangat baik. Tidak ada pembullyan ataupun pelecehan. Kukira hidup akan semulus itu. Tiba-tiba Allah memberiku perasaan kepada lawan jenis, yang sayangnya sepertinya hatinya sudah dimiliki yang lain. Tak ada yang bisa kulakukan selain memendam. Tetap tersenyum ketika dia becanda dengan orang lain. Aku tidak bisa menghindari interaksi karena kami teman sekelas. Ya sudah, ditahan saja, dipendam saja sampai Allah menghapuskan perasaan itu. Bukankah itu juga namanya berdamai?
Setelah kilas balik kehidupanku sejak duduk di jenjang sekolah dasar, aku menjadi sadar bahwa aku sudah terbiasa berdamai. Berdamai dengan isi kepala, berdamai dengan isi hati, berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan takdir, dan berdamai dengan apapun.
Aku sudah banyak ikhlas, rela dan berdamai dalam hidup, mungkin itulah yang membuatku dewasa di usia yang terbilang belia.
Dan ya, sekali lagi ku tegaskan, aku sudah terbiasa berdamai.
Komentar
Posting Komentar